Bencana Mengintai, Strategi Penanganan Lahan Kritis Digencarkan Studi Kasus : DAS Sidangoli, Halmahera Barat

Sebaran lahan kritis di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang cukup tajam dengan jumlah saat ini mencapai 14 juta hektar. Tingginya laju lahan kritis belum dapat diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang masih terlampau rendah. Apabila lahan kritis dibiarkan terus menerus maka luasannya akan bertambah dan lahan menjadi tidak produktif lagi, selanjutnya akan mempengaruhi kualitas lingkungan, kerugian materi, serta penurunan kesejahteraan masyarakat. Dinamika penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan dan kesesuaian lahan akan cenderung mempercepat peningkatan proses erosi, sedimentasi dan menghadirkan banyak kejadian bencana lainnya.

Lahan kritis menjadi satu indikator adanya degradasi lingkungan dan sebagai akibat dari berbagai jenis pemanfaatan sumber daya lahan yang kurang bijaksana. Lahan kritis akan menyebabkan terganggunya fungsi lahan sebagai media pengatur tata air, perlindungan banjir dan/atau sedimentasi di wilayah hilir. Dampak lahan kritis mengakibatkan penurunan fungsi konservasi, fungsi produksi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dari fungsi konservasi, lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak mampu lagi berfungsi untuk menjaga tata air, sumberdaya tanah, serta biodiversitas yang hidup di atas lahan tersebut. Dari fungsi produksi, lahan kritis dipandang tidak mampu lagi sebagai media tumbuh dan berkembang tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, pemukiman, industri dan pariwisata. Berdasarkan kondisi tersebut dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang memanfaatkan lahan tersebut.

Sebaran lahan kritis salah satunya dapat ditemui di wilayah DAS Sidangoli dengan tingkat kekritisan lahan agak kritis 58%, kritis 17%, dan sangat kritis 9%. Pada bagian hulu DAS Sidangoli beberapa daerah masuk pada kategori kelas erosi 60-80 ton/ha/tahun seluas 3.399 ha (BPDASHL Ake Malamo, 2018), dan sebagian besar daerah hulu berada pada kondisi agak kritis (58%). Kondisi ini disebabkan oleh adanya penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuannya. Penyelesaian permasalahan lahan kritis telah dimulai sejak beberapa tahun terakhir ini dengan berbagai program seperti rehabilitasi, reboisasi, pembangunan persemaian permanen, kebun bibit rakyat (KBR) serta pembangunan konservasi tanah dan air. Penanganan lahan kritis di DAS Sidangoli dilakukan dengan melakukan penyusunan arahan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) pada berbagai kelas kekritisan lahan. Tujuan RHL DAS dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan agar dapat terjaganya daya dukung, produktivitas, serta meningkatkan fungsi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan. Kegiatan RHL pada DAS Sidangoli merupakan kegiatan yang sejalan dengan program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yakni merevitalisasi 108 DAS prioritas, 15 danau prioritas, 29 bendungan prioritas yang secara keseluruhan tersebar di 34 provinsi.

Arahan rehabilitasi lahan dan hutan pada prioritas pertama diperuntukan pada lahan dengan kelas sangat kritis, kritis dan agak kritis yang berada pada kawasan hutan lindung, dan hutan produksi. Selanjutnya, RHL dilakukan pada kawasan budidaya (luar kawasan hutan) dengan kelas lahan sangat kritis dan kritis. Prioritas kedua kegiatan RHL diperuntukan di kawasan budidaya (luar kawasan hutan) dengan kelas agak kritis. Kegiatan RHL diharapkan dapat memulihkan kondisi lahan serta meningkatkan produktivitas dari suatu lahan agar dapat lebih optimal. Prioritas perbaikan dan perlindungan dilakukan pada lokasi-lokasi tersebut dengan memilih jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi tapak, serta dapat memenuhi tujuan perlindungan dan tujuan ekonomi. Salah satu contoh bentuk kegiatan RHL adalah penerapan sistem agroforestri. Agroforestri merupakan pola penanaman yang memadukan tanaman pertanian dengan tanaman kehutanan. Terdapat karakateristik pengolahan dan pertimbangan pengelolaan lahan yang akan berdampak pada perubahan iklim dan ketahanan pangan. Disisi lain, sistem agroforestri juga akan dapat memberikan dampak positif yakni dari aspek sosial-ekologi-ekonomi.

Strategi penanganan lahan kritis DAS Sidangoli dengan kegiatan RHL dapat dilakukan dengan cara: 1) perlu meningkatkan sinergi antara BPDASHL Ake Malamo dengan Dinas Pertanian dan Perkebunan untuk mendorong kelompok tani untuk memelihara kesuburan dan kualitas tanah menggunakan pupuk organik; 2) membuat RHL menjadi lebih insklusif sehingga kegiatan RHL dapat dilaksanakan oleh aktor-aktor yang tidak terbatas oleh BPDASHL Ake Malamo; dan 3) meningkatkan kapasitas partisipasi dalam hal perumusan strategi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Jumlah penyuluh lapangan juga perlu ditambah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melaksanakan program RHL. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan arahan RHL di DAS Sidangoli adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat, Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara, BPDASHL Ake Malamo, dan pakar dari Perguruan Tinggi / LSM. Tim penyusun rencana arahan rehabilitasi hutan terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Tim Pengarah diketuai oleh Bupati Halmahera Barat dan Tim Pelaksana diketuai oleh Kepala Bappeda Kabupaten Halmahera Barat dengan anggota seluruh dinas/instansi yang terkait dan para pakar dari Perguruan Tinggi / LSM, dan sekretaris Tim adalah Kepala BPDASHL Ake Malamo. Peran Bappeda sangat penting dalam perencanaan pembangunan daerah, termasuk kegiatan RHL. Dinas/instansi terkait berperan dalam mendukung pelaksanaan arahan RHL yang telah disusun. Para pakar dari Perguruan Tinggi/LSM dapat memberikan masukan yang konstruktif berdasarkan kajian-kajian ilmiah dalam kegiatan RHL dan melakukan pendampingan kepada masyarakat. BPDASHL Ake Malamo berperan dalam penyusunan program dan kegiatan RHL berdasarkan klasifikasi lahan kritis.

 

Penulis: Tohirin
Editor : Heni Puji Astuti